RESUME ULUMUL HADITS
TARIKH AL-RUWAH, PARA PERIWAYAT HADITS
AL-JARH WAT-TA’DIL & NASIKH WA MANSUKH
Dosen Pengampu: H. Awwaludin Abdul Gaffar, MA
PROGRAM
STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
TAHUN 2018
A.
TARIKH AL-RUWAH
1.
Pengertian
Tarikh Al-Ruwah
Tarikh
Al-Ruwah merupakan salah satu cabang dari ilmu Rijalul Hadits, yang di dalam
Rijalul Hadits tersebut memuat dua ilmu yaitu Tarikh Al-Ruwah itu sendiri dan
ilmu jarhi wat Ta‟dil. Di dalam buku pokok-pokok ilmu dirayah hadits ( jilid II
) menerangkan bahwa ilmu Tarikh Al-Ruwah adalah: “Ilmu yang mengenalkan
kepada kita perawi-perawi hadits dari segi mereka kelahiran, hari kewafatan,
guru-gurunya, masa dia mulai mendengar hadits dan orang-orang yang meriwayatkan
hadits dari padanya, negerinya, tempat kediamannya, perlawananperlawanannya,
sejarah kedatangannya ke tempat-tempat yang dikunjungi dan segala yang berhubungan
dengan urusan hadits”.
Para
Ulama sangat mementingkan ilmu ini supaya mereka dapat mengetahui keadaan
perawiperawi sanad. Mereka menanyakan tentang umur perawi, tempat kediaman,
sejarah mereka belajar, sebagaimana mereka menanyakan tentang pribadi perawi
sendiri agar mereka mengetahui tentang kemutashilannya dan kemunqathiannya,
tantang kema‟rufannya dan kemauqufannya. Karena memang sejarahlah senjata yang
ampuh untuk menghadapi para pendusta. Sufyan
Ats Tsauri berkata:
نًا اسرؼًًم انغٔٔاج انكظب
انرؼً هُُا نٓٓى انراعٚٚز
“Tatkala para
perawi telah mempergunakan kedustaan, kamipun mempergunakan sejarah”.
Dengan demikian
kita dapat mengetahui mana hadits yang diterima, mana hadits yang ditolak, mana
yang sah diamalkan, mana yang tidak. Dialah jalan yang mulia untuk menetapkan
hukum-hukum Islam. Dengan kesungguhan para Ulama dalam menghadapi sejarah para
perawi, terkumpullah suatu pembendaharaan besar yang menerangkan sejarah para
perawi hadits, kekayaan itu mereka simpan dalam hasil-hasil karya mereka. Maka
ada yang menulis tentang hal para sahabat dan segala sangkut pautnya, tentang
bilangan haditshadits mereka dan perawi-perawinya.
Ada berbagai
macam jalan yang ditempuh para pengarang sejarah perawi hadits diantaranya:
a.
Ada
yang mengarang sejarah para perawi thabaqat demi thabaqat, yaitu orang-orang
semasa kemudian orang-orang semasa pula. Diantara kitab-kitab yang menulis
sejarah perawi thabaqat demi thabaqat adalahkitab At Thabaqat Al Kubro, karya
Muhammad ibn sa‟ad ( 168-230 H ).
b.
Ada
yang mengarang sejarah para perawi dengan mensyarahkan menurut tahun para
perawi, dari tahun demi tahun. Didalamnya diteraangkan tahun wafatnya para
perawi, disamping menerangkan keadaan beritanya. Diantara kitab yang terkenal
adalah Tarikhul Islamm karya Adz Dzahabi.
c.
Ada
juga yamg menyusun sejarah perawi menurut huruf abjad. Diantara kitab yang
paling tua yang sampai kepada kita adalah At Tarikhul Kabir karya Al Imam
Muhammad ibn Isma‟il Al Bukhori ( 194-256 H ) yang didalamnya disebutkan kurang
lebih 40.000 biografi pria dan wanita.
d.
Ada
pula yang menyusun menurut negeri perawi hadits. Pengarangnya menerangkan
Ulama-ulama negerinya dan Ulama-ulama yang datang ke negeri itu. Selain itu
biasanya disebutkan pula sahabat-sahabat yang berada di negeri itu. Diantara
kitab yang paling tua dalam bidang ini adalah Tarikh Naisabur karangan Al Hakim
( 321-405 H ).
Para Ulama
tidak saja meriwayatkan sejarah perawi-perawi lelaki, bahkan meriwayatkan juga
sejarah perawi-perawi wanita yang telah menjadi pengembang-pengembang hadits,
seperti Aisyah dan istri-istri nabi yang lain. Ilmu inilah yang dinamakan ilmu
Tarikh dan ada pula yang menamakan Tarikh Al-Ruwah. Ilmu ini hampir sama dengan
ilmu thobaqot dan ilmu jarah dan ta‟dil. Tetapi di dalam buku karangan Hasbi
Ash-Siddiqi menjelaskan perbedaan diantara ilmu-ilmu tersebut.
a.
Ilmu
sejarah ialah ilmu yang di dalamnya dibahas tentang hari-hari kelahiran perawi
dan hari kewafatan mereka. Dengan ilmu ini kita dapat menetapkan kemuttasilan
atau kemunqotiannya. Karena sesungguhnya seseorang perawi yang mengaku
mendengar hadits dari seseorang tidak dapat kita tolak pengakuannya, terkecuali
kalau kita mengetahui masa kelahirannya, di masa kewafatan orang yang
sebelumnya.
b.
Ilmu
thabaqat ialah ilmu yang dibahas di dalamnya tentang orang-orang yang
berserikat dalam suatu urusan atau orang-orang yang semasa dan sekerja.
c.
Ilmu
jarah wat ta‟dil ialah ilmu yang dengannya dapat diketahui siapa yang diterima
dan ditolak dari perawi-perawi hadits.
2.
Faidah
ilmu Tarikh Al Ruwah
Ilmu ini berkembang bersama dengan berkembangnya ilmu riwayah.
Perhatian para ulama dalam membahas ilmu ini didorong oleh suatu maksud untuk
mengetahui dengan sebenarnya hal ikhwal para perawi hadits. Atas motif tersebut
mereka menanyakan kepada para perawi yang bersangkutan mengenai umur dan
tanggal kapan mereka dilahirkan, dimana domisili mereka dan kapan mereka
menerima hadits dari guru mereka, disamping para ulama tersebut meneliti
tentang identitas para perawi itu.
Mengetahui tanggal lahir dan wafatnya para perawi adalah sangat
penting untuk menolak pengakuan seorang perawi yang mengaku pernah bertemu
dengan seorang guru yang pernah memberikan hadits kepadanya, padahal setelah
diketahui tanggal lahir dan wafat gurunya, mungkin sekali mereka tidak saling
bertemu, disebabkan kematian gurunya mendahului dari pada kelahirannya.
Jika demikian halnya, maka hadits yang mereka riwayatkan itu
sanadnya tidak bersambung. Dengan kata lain faidah mempelajari ilmu Tarikh Al
Ruwah itu adalah mengetahui muttasil atau munqatinya sanad hadits dan untuk
mengetahui marfu‟ atau mursalnya pemberian hadits.
Mengetahui kampung halaman perawi juga besar faidahnya. Yaitu untuk
membedakan perawi-perawi yang kebetulan sama namanya akan tetapi berbeda marga
dan kampung halamannya. Sebab sebagaimana diketahui banyak perawi-parawi itu
banyak yang namanya bersamaan, akan tetapi tempat tinggal mereka berbeda.
Tampak faidahnya pula dalam hal ini apabila perawi yang namanya sama itu
sebagiannya ada yang tsiqah, sehingga dapat diterima haditsnya, sedang sebagian
yang lain adalah tidak tsiqah yang menyebabkan harus ditolaknya hadits
tersebut.
3.
Kitab-kitab
Tarikh Al Ruwah
Adapun kitab-kitab Tarikh Al Ruwah yng harus diketahui oleh
penggali sunah Rasululallah antara lain ialah:
a.
At
Tarikhul kabir, karya imam Muhammad ibn Isma‟il Al Bukhori ( 194-252 H ). Dalam
kitab tersebut menerangkan biografi dari guru-gurunya yang pernah memberikan
hadits kepadanya, baik dari golongan tabi‟in maupun sahabat sampai berjumlah
kurang lebih 40.000 orang. Baik mereka laki-laki ataupun perempuan, baik mereka
yang tsiqah maupun ghoiru tsiqah. Nama-nama perawi itu disusun secara
alfabetis, akan tetapi nama yang pertama ditaruh pada bab pendahuluan adalah
nama yang menggunakan Muhammad. Setiap nam dijadikan satu bab dan disusun
secara alfabetis atau arabiyah dengan mengutamakan nama leluhurnya. Kitab
tersebut terdiri dari 4 jilid besar-besar. Pada cetakan Haiderabad tahun 1362
H, kitab tersebut dijadikan 8 jilid.
b.
Tarikh
Nisabur, karya imam Muhammad bin Abdullah Al Hakim An Nisabury ( 321-405 H ).
Kitab ini merupakan kitab Tarikh yang terbesar dan banyak faidahnya bagi para
fuqoha‟. Hanya saja kitab ini telah hilang. Ia hanya ditemukan dalam koleksi
cuplikan yang terdiri dari beberapa lembar.
c.
Tarikh
Bagdad, karya Abu Bakar Ahmad Ali Al Bagdady, yang terkenal dengan nama Al
khatib Al Bagdady ( 392-463 H ). Kitab yang besar faidahnya ini memuat biografi
darri ulama-ulama besar dalam segala bidang ilmu pengetahuan sebanyak 7831
orang dan disusun secara alfabetis. Perawi-perawi yang tsiqah, lemah dan yang
ditinggalkan haditsnya dimasukkan semuanya di dalam kitab ini. Ia terdiri dari
14 jilid dan dicetak di kairo pada tahun 1349 H (1931 M).
Selain
kitab-kitab tersebut di atas masih banyak lagi kitab-kitab Tarikh Al Ruwah,
antara lain : Al Ikmal firaf’il-ibtiyab, anil mu’talif wal mukhtalif, karya Al
Amir Al Hafidz Abi Nashr, Ali bin Hibatillah bin Ja’far yang terkenal dengan
nama Ibnu Ma’kula Al Bagdady. Ada juga kitab Tahdzibul Kamal fi asmair-rijal,
karya Al Hafidz Jamaludin Abil Hajjad Yusuf Al Mizay Ad-dimasyqy ( 654-742 H ).
Berikut ini
contoh-contoh data sejarah dalam tarikh al-ruwah:
a.
Yang
ṡahih tentang umur Nabi Muhammad saw dan kedua sahabat; Abu Bakar dan Umar
adalah 63 tahun.
b.
Rasulullah
wafat pada waktu Dhuha hari Senin tanggal 12 Rabi’ul Awal tahun 11 H.
c.
Abu
Bakar meninggal pada bulan Jumadil Awal tahun 13 H.
d.
Umar
meninggal dunia pada bulan Dzulhijjah tahun 23 H.
e.
Utsman
meninggal terbunuh pada bulan Dzulhijah tahun 35 H. berusia 82 tahun namun ada
yang mengatakan 90 tahun. Pada hal ini tampak adanya perbedaan pendapat dalam
tarikh alruwah, implikasinya tentu saja akan memunculkan perbedaan penilaian
terhadap kualitas hadiṡ.
f.
Ali
terbunuh pada bulan Ramaḍan tahun 40 H. berusia 63 tahun.
g.
Dua
sahabat yang hidup selama enam puluh tahun semasa Jahiliyah dan enam puluh
tahun pada masa Islam dan meninggal dunia di Kota Madinah tahun 54, keduanya
adalah Hakim bin Hizam dan Hasan bin Tsabiṭ.
h.
Pendiri
maẓab-maẓab yang mempunyai pengikut serta tahun lahir dan wafatnya:
1)
An-Nu‟man
bin Ṡabit (Abu Hanifah) 80-150 H
2)
Malik
bin Anas 93-179
H
3)
Muhammad
bin Idris Asy-Syafi‟i 150-204 H
4)
Ahmad
bin Hambal 164-241H
i.
Pemilik
kitab-kitab ḥadiṡ induk serta tahun lahir dan wafatnya:
1)
Muhammad
bin Ismail al-Bukhari 194-256
H
2)
Muslim
bin al Hajjaj an-Naisaburi 204-261 H
3)
Abu
Dawud as-Sijistany
202-275 H
4)
Abu
Isa al-Tirmidzi
209-279 H
5)
Ahmad
bin Syu’aib al-Nasa’i 214-303 H
6)
Ibnu
Majah (al-Qaswiny)
207-275 H
B.
PARA PERIWAYAT HADITS
1.
Sahabat
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang banyak meriwayatkan Hadist :
a.
Abu
Hurairah radhiallahu’anhu
(5374 Hadits)
b.
Abdullah
bin Umar radhiallahu’anhu (2630
Hadits)
c.
Anas
bin Malik radhiallahu’anhu
(2286 Hadits)
d.
Umu’l
Mukminin Aisyah radhiallahu’anha (2210
Hadits)
e.
Abdullah
Ibnu Abbas radhiallahu’anhu (1660
Hadits)
f.
Jabir
bin Abdullah radhiallahu’anhu (1540
Hadits)
g.
Abu
Sa‟id Al Khudry radhiallahu’anhu
(1170 Hadits)
Sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang banyak berfatwa :
a.
Abdullah
Ibnu Abbas radhiallahu’anhu
b.
Umar
bin Khaththab radhiallahu’anhu
c.
Umu’l
Mukminin Aisyah radhiallahu’anha
d.
Abdullah
bin Umar radhiallahu’anhu
e.
Abdullah
bin Mas’ud radhiallahu’anhu
f.
Zaid
bin Tsabit radhiallahu’anhu
g.
Ali
bin Abi Thalib radhiallahu’anhu
2.
Tabi’in (Generasi setelah Sahabat) :
1)
Ka`ab
bin Mati (wafat
32 H) (652 M)
2)
Alqamah (wafat
62 H) (681 M)
3)
Masyruq
bin al Ajda' (wafat
63H) (682 M)
4)
Muhammad
Ibnul Hanafiyyah (wafat
80 H) (700 M)
5)
Muh.
bin al Hanafiyah bin Ali Abi Thalib (wafat
81 H) (701 M)
6)
Sa‟id
bin Musayyab (wafat
90 H) (709 M)
7)
Urwah
bin Zubair (wafat
94 H) (713 M)
8)
Ali
bin Husain Zainal Abidin (wafat
93 H) (712 M)
9)
Mujahid
ibn Jabr (wafat
104 H) (722 M)
10) Ikrimah (wafat 105
H) (724 M)
11) Ubaidillah bin Abdullah bin Umar (wafat 106 H) (725 M)
12) Salim bin Abdullah bin Umar (wafat 106 H) (725 M)
13) Thawus bin Kaisan al Yamani (wafat 106 H) (725 M)
14) Qasim bin Muh.bin abu bakar Ash
Shiddiq (wafat 106 H) (725 M)
15) Sulaiman bin Yasar al Madani (wafat 107 H) (726 M)
16) Al Hasan Al Bashri (wafat
110 H) (729 M)
17) Muh.
bin Sirrin (wafat
110 H) (729 M)
18) Raja` bin Haiwah (wafat 112
H) (731 M)
19) Thalhah bin Musharaf (wafat 112 H)
(731 M)
20) Atha' bin Rabah (wafat
114 H) (732 M)
21) Abu Ja`far Al-Baqir (wafat 114
H) (733 M)
22) Abu Bakar bin Amr bin Hazm (wafat 117 H) (735 M)
23) Maimun bin Mahran (wafat 117
H) (736 M)
24) Ibnu Abi Malikah (wafat
117 H) (736 M)
25) Ubadah bin Nusay al Kindi (wafat 118 H) (737 M)
26) Nafi’ bin Hurmuz (wafat
117 H) (735 M)
27) Qotadah As Sudusy (wafat 118
H) (736 M)
28) Muh bin Syihab Az Zuhri (wafat 125 H) (743
M)
29) Amr bin Dinar (wafat 126 H) (744 M)
30) Abdul Karim bin Malik al Harrani (wafat 127 H) (745 M)
31) Abu Mashar Abdul A`la ad Damsyiqi (wafat 128 H) (746 M)
32) Yahya bin Abi Katsir al Yamani (wafat 129 H) (747 M)
33) Ayyub as-Sakhtiyani (wafat 131
H) (748 M)
34) Muh. bin Al-Munkadir (wafat 131 H)
(748 M)
35) Abdullah bin Thawus Al-Yamani (wafat 132 H) (750 M)
36) Umar bin Dzar Al-Murhabi (wafat 135 H) (752 M)
37) Zaid bin Aslam Al Madani (wafat 136 H) (754 M)
38) Rabi`ah Ar Ra-i (wafat
136 H) (754 M)
39) Sulaiman At-Taim (wafat
143 H) (760 M)
40) Ja`far bin Muhammad Ash-Shadiq (wafat 143 H) (768 M)
41) Abdullah bin Syaudzab Al Khurrasani (wafat 144 H) (762 M)
42) Ibnu Juraij (wafat 150 H)
(768 M)
43) Abu Hanifah An Nu’man (wafat 150H) (767
M)
44) Hanafi Abdurrahman bin Yazid bin Jabir (wafat
153 H) (770 M)
45) Ma'mar bin Rosyid (wafat
154 H) (770 M)
46) Syu’bah ibnu A-Hajjaj (wafat 160 H)
(777 M)
47) Abdul Aziz bin Salman Al Majisyun (wafat 164 H) (781 M)
48) Sa`id bin Abdul Aziz At Tanwikhi (wafat 167 H) (784 M)
49) Hammad bin Salamah (wafat 167 H)
(784 M)
3.
Tabi’ut
tabi’in (Generasi setelah Tabi’in):
1)
Muh.
bin Muslim Ath Thaifi (wafat
177 H) (794 M)
2)
Malik
bin Annas (wafat 179 H) (796 M)
3)
Maliki Nafi` bin Umar
al Jamhi al Makki (wafat 179 H) (796 M)
4)
Sallaam
bin Sulaim al Kufi (wafat
179 H) (796 M)
5)
Hammad
bin Zaid (wafat
179 H) (796 M)
6)
Al-Qadhi
Abu Yusuf (wafat 182 H) (798 M)
7)
Abu
Ishaq al Fazari (wafat
185 H) (802 M)
8)
Fudhail
bin 'Iyadh (wafat
187 H) (803 M)
9)
Al
Auza’i (wafat
198 H) (814 M)
10) Sufyan Ats Tsauri (wafat 161
H) (778 M)
11) Asy Syaibani (wafat 189 H) (804 M)
12) Yahya bin Salim Ath Thaifi (wafat 195 H) (811 M)
13) Sufyan bin Uyainah (wafat 198
H) (814 M)
14) Ismail bin Ulayyah (wafat
198 H) (814 M)
15) Abdurrahman bin Mahdi (wafat 198 H) (814
M)
16) Al Laits bin Sa’ad (wafat
175 H) (792 M)
C.
AL-JARH WAT-TA’DIL
1.
Pengertian
Al Jarh Wat-ta’dil
Al-Jarh secara bahasa merupakan isim mashdar yang berarti luka yang
mengalirkan darah atau sesuatu yang dapat menggugurkan ke’adalahan seseorang
(Lisaanul-Arab; kosa kata “Jaraha”). Al-Jarh menurut istilah yaitu terlihatnya
sifat pada seorang perawi yang dapat menjatuhkan ke’adalahannya dan merusak
hafalan dan ingatannya, sehingga menyebabkan gugur riwayatnya, atau melemahkannya
hingga kemudian ditolak.
At-Tajrih yaitu memberikan sifat kepada seorang perawi dengan sifat
yang menyebabkan pendla’ifan riwayatnya, atau tidak diterima riwayatnya. Al-‘Adlu
secara bahasa adalah apa yang lurus dalam jiwa; lawan dari durhaka. Dan seorang
yang „adil artinya kesaksiannya diterima; dan At-Ta’dil artinya mensucikannya
dan membersihkannya. Al-‘Adlu menurut istilah adalah orang yang tidak nampak
padanya apa yang merusak agamanya dan perangainya, maka oleh sebab itu diterima
beritanya dan kesaksiannya apabila memenuhi syarat-syarat menyampaikan hadits
(yaitu : Islam, baligh, berakal, dan kekuatan hafalan).
At-Ta’dil yaitu pensifatan perawi dengan sifat-sifat yang
mensucikannya, sehingga nampak ke„adalahannya, dan diterima beritanya. Dan atas
dasar ini, maka ilmu Al-Jarh wat-Ta‟dil adalah ilmu yang menerangkan tentang
cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta‟dilannya
(memandang lurus perangai para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan
untuk menerima atau menolak riwayat mereka. [Ushulul-Hadiits halaman 260; dan Muqaddimah
Kitab Al-Jarh wat-Ta’dil].
2.
Perkembangan
Ilmu Al-Jarh wat-Ta‟dil
Para ulama
menganjurkan untuk melakukan jarh dan ta‟dil, dan tidak menganggap hal itu
sebagai perbuatan ghibah yang terlarang; diantaranya berdasarkan dalil-dalil
berikut :
Sabda
Rasulullah shallallaahu’alaihi wasallam kepada seorang laki-laki : “(Dan) itu
seburuk-buruk saudara di tengah-tengah keluarganya” (HR. Bukhari). Sabda
Rasulullah shallallaahu’alaihi wasallam kepada Fathimah binti Qais yang
menanyakan tentang Mu’awiyyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm yang tengah melamarnya
: “Adapun Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya (suka
memukul), sedangkan Mu’awiyyah seorang yang miskin tidak mempunyai harta” (HR.
Muslim).
Dua hadits di
atas merupakan dalil Al-Jarh dalam rangkan nasihat dan kemaslahatan.
Adapun At-Ta’dil,
salah satunya berdasarkan hadits : Rasulullah shallallaahu’alaihi wasallam
bersabda : “Sebaik-baik hamba Allah adalah Khalid bin Walid, salah satu pedang
diantara pedang-pedang Allah” (HR. Ahmad dan Tirmidzi dari Abi Hurairah
radliyallaahu ‘anhu). Oleh karena itu, para ulama membolehkan Al-Jarh
wat-Ta’dil untuk menjaga syari’at/agama ini, bukan untuk mencela manusia. Dan
sebagaimana dibolehkan Jarh dalam persaksian, maka pada perawi pun juga
diperbolehkan; bahkan memperteguh dan mencari kebenaran dalam masalah agama
lebih utama daripada masalah hak dan harta.
Al-Jarh dan
At-Ta’dil dalam ilmu hadits menjadi berkembang di kalangan shahabat, tabi‟in,
dan para ulama setelahnya hingga saat ini karena takut pada apa yang
diperingatkan Rasulullah shallallaahu’alaihi wasallam : “Akan ada pada
umatku yang terakhir nanti orangorang yang menceritakan hadits kepada kalian
apa yang belum pernah kalian dan juga bapakbapak kalian mendengar sebelumnya.
Maka waspadalah terhadap mereka dan waspadailah mereka” (Muqaddimah Shahih
Muslim).
Dari Yahya bin
Sa’idAl-Qaththan dia berkata, Aku telah bertanya kepada Sufyan AtsTsaury, Syu’bah,
dan Malik, serta Sufyan bin ‘Uyainah tentang seseorang yang tidak teguh dalam
hadits. Lalu seseorang datang kepadaku dan bertanya tentang dia, mereka
berkata, “Kabarkanlah tentang dirinya bahwa haditsnya tidaklah kuat” (Muqaddimah
Shahih Muslim).
Dari Abu Ishaq
Al-Fazary dia berkata, “Tulislah dari Baqiyyah apa yang telah ia riwayatkan
dari orang-orang yang dikenal, dan jangan engkau tulis darinya apa yang telah
dia riwayatkan dari orang-orang yang tidak dikenal, dan janganlah kamu menulis
dari Isma’il bin ‘Iyasy apa yang telah ia riwayatkan dari orang-orang yang
dikenal maupun dari selain mereka” (Baqiyyah bin Al-Walid banyak melakukan
tadlis dari para dlu’afaa).
Diketahuinya
hadits-hadits yang shahih dan yang lemah hanyalah dengan penelitian para ulama
yang berpengalaman yang dikaruniai oleh Allah kemampuan untuk mengenali keadaan
para perawi. Dikatakan kepada Ibnul-Mubarak : “(Bagaimana dengan) hadits-hadits
yang dipalsukan ini?”. Dia berkata,“Para ulama yang berpengalaman yang akan
menghadapinya”. Maka penyampaian hadits dan periwayatannya itu adalah sama
dengan penyampaian untuk agama. Oleh karenannya kewajiban syar‟i menuntut akan
pentingnya meneliti keadaan para perawi dan keadilan mereka, yaitu seorang yang
amanah, alim terhadap agama, bertaqwa, hafal dan teliti pada hadits, tidak
sering lalai dan tidak peragu. Melalaikan itu semua (Al-Jarh wat-Ta‟dil) akan
menyebabkan kedustaan kepada Rasulullah shallallaahu’alaihi wasallam.
Dikatakan
kepada Yahya bin Sa’id Al-Qaththan, “Apakah kamu tidak takut terhadap
orangorang yang kamu tinggalkan haditsnya akan menjadi musuh-musuhmu di hadapan
Allah?”. Dia berkata, “Mereka menjadi musuh-musuhku lebih baik bagiku daripada
Rasulullah shallallaahu „alaihi wasallam yang menjadi musuhku. Beliau akan
berkata : mengapa kamu mengambil hadits atas namaku padahal kamu tahu itu
adalah kedustaan?” (Al-Kifaayah halaman 144).
3.
Tingkatan-Tingkatan
Al-Jarh Wat-Ta’Dil
Para perawi
yang meriwayatkan hadits bukanlah semuanya dalam satu derajat dari segi
keadilannya, kedlabithannya, dan hafalan mereka. Di antara mereka ada yang
hafalannya sempurna, ada yang kurang dalam hafalan dan ketepatan, dan ada pula
yang sering lupa dan salah padahal mereka orang yang „adil dan amanah; serta
ada juga yang berdusta dalam hadits. Maka Allah menyingkap perbuatannya ini
melalui tangan para ulama‟ yang sempurna pengetahuan mereka. Oleh karena itu,
para ulama‟ menetapkan tingkatan Jarh dan Ta’dil, dan lafadh-lafadh yang
menunjukkan pada setiap tingaktan. Tingkatan Ta’dil ada enam tingkatan, begitu
pula dengan Jarh (ada enam tingkatan).
a.
Tingkatan
At-Ta’dil
1.
Tingkatan
Pertama
Yang menggunakan bentuk superlatif dalam penta’dil-an, atau dengan
menggunakan wazan af’ala dengan menggunakan ungkapan-ungkapan seperti : “Fulan
kepadanyalah puncak ketepatan dalam periwayatan” atau “Fulan yang paling tepat
periwayatan dan ucapannya” atau Fulan orang yang paling kuat hafalan dan
ingatannya”.
2.
Tingkatan
Kedua
Dengan menyebutkan sifat yang menguatkan ke-tsiqah-annya, ke-adil-annya,
dan ketepatan periwayatannya, baik dengan lafadh maupun dengan makna; seperti :
tsiqatun-tsiqah, atau tsiqatun-tsabt, atau tsiqah dan terpercaya (ma‟mun), atau
tsiqah dan hafidh.
3.
Tingkatan
Ketiga
Yang menunjukkan adanya pentsiqahan tanpa adanya penguatan atas hal
itu, seperti : tsiqah, tsabt, atau hafidh.
4.
Tingkatan
Keempat
Yang
menunjukkan adanya ke-adil-an dan kepercayaan tanpa adanya isyarat akan
kekuatan hafalan dan ketelitian. Seperti : Shaduq, Ma’mun (dipercaya),
mahalluhu ash-shidq (ia tempatnya kejujuran), atau laa ba’sa bihi (tidak
mengapa dengannya). Khusus untuk Ibnu Ma‟in kalimat laa ba‟sa bihi adalah
tsiqah (Ibnu Ma‟in dikenal sebagai ahli hadits yang mutasyaddid, sehingga
lafadh yang biasa saja bila ia ucapkan sudah cukup untuk menunjukkan ketsqahan
perawi tersebut).
5.
Tingkatan
Kelima Yang tidak menunjukkan adanya pentsiqahan ataupun celaan; seperti :
Fulan Syaikh (fulan seorang syaikh), ruwiya’anhul-hadiits (diriwayatkan darinya
hadits), atau hasanul-hadiits (yang baik haditsnya).
6.
Tingkatan
Keenam
Isyarat yang
mendekati celaan (jarh), seperti : Shalihul-Hadiits (haditsnya lumayan), atau
yuktabu hadiitsuhu (ditulis haditsnya).
Hukum
Tingkatan-Tingkatan Ini Untuk tiga tingkatan pertama, dapat dijadikan hujjah,
meskipun sebagian mereka lebih kuat dari sebagian yang lain. Adapun tingkatan
keempat dan kelima, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi hadits mereka boleh
ditulis, dan diuji kedlabithan mereka dengan membandingkan hadits mereka dengan
hadits-hadits para tsiqah yang dlabith. Jika sesuai dengan hadits mereka, maka
bisa dijadikan hujjah. Dan jika tidak sesuai, maka ditolak. Sedangkan untuk
tingkatan keenam, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi hadits mereka ditulis
untuk dijadikan sebagai pertimbangan saja, bukan untuk pengujian, karena mereka
tidak dlabith.
b.
Tingkatan
Al-Jarh
1.
Tingkatan
Pertama
Yang menunjukkan adanya kelemahan, dan ini yang paling rendah dalam
tingkatan al-jarh seperti : layyinul-hadiits (lemah haditsnya), atau fiihi
maqaal (dirinya diperbincangkan), atau fiihi dla‟fun (padanya ada kelemahan).
2.
Tingkatan
Kedua
Yang menunjukkan adanya pelemahan terhadap perawi dan tidak boleh
dijadikan sebagai hujjah; seperti : “Fulan tidak boleh dijadikan hujjah”, atau
dla’if, atau “ia mempunyai hadits-hadits yang munkar”, atau majhul (tidak diketahui
identitas/kondisinya).
3.
Tingkatan
Ketiga
Yang menunjukkan lemah sekali dan tidak boleh ditulis haditsnya,
seperti : “Fulan dla‟if jiddan (dla‟if sekali)”, atau “tidak ditulis
haditsnya”, atau “tidak halal periwayatan darinya”, atau laisa bi-syai-in
(tidak ada apa-apanya). (Dikecualikan untuk Ibnu ma‟in bahwasannya ungkapan
laisa bisyai-in sebagai petunjuk bahwa hadits perawi itu sedikit).
4.
Tingkatan
Keempat
Yang menunjukkan tuduhan dusta atau pemalsua hadits, seperti :
Fulan muttaham bil-kadzib (dituduh berdusta) atau “dituduh memalsukan hadits”,
atau “mencuri hadits”, atau matruk (yang ditinggalkan), atau laisa bi tsiqah
(bukan orang yang terpercaya).
5.
Tingkatan
Kelima
Yang menunjukkan sifat dusta atau pemalsu dan semacamnya; seperti :
kadzdzab (tukang dusta), atau dajjal, atau wadldla‟ (pemalsu hadits), atau
yakdzib (dia berbohong), atau yadla‟ (dia memalsikan hadits).
6.
Tingkatan
Keenam
Yang menunjukkan adanya dusta yang berlebihan, dan ini
seburuk-buruk tingkatan; seperti : “Fulan orang yang paling pembohong”, atau
“ia adalah puncak dalam kedustaan”, atau “dia rukun kedustaan”.
Hukum
Tingkatan-Tingkatan Al-Jarh Untuk dua tingkatan pertama tidak bisa dijadikan
sebagai hujjah terhadap hadits mereka, akan tetapi boleh ditulis untuk
diperhatikan saja. Dan tentunya orang untuk tingkatan kedua lebih rendah
kedudukannya daripada tingkatan pertama. Sedangkan empat tingkatan terakhir
tidak boleh dijadikan sebagai hujjah, tidak boleh ditulis, dan tidak dianggap
sama sekali. (Tadriibur-Rawi halaman 229-233; dan Taisir Musthalah Al-Hadits
halaman 152-154).
4.
Kitab-Kitab
yang membahas Tentang Al-Jarh wat-Ta’dil
Penyusunan
karya dalam ilmu Al-Jarh wat-Ta‟dil telah berkembang sekitar abad ketiga dan
keempat, dan komentar orang-orang yang berbicara mengenai para tokoh secara
jarh dan ta’dil sudah dikumpulkan. Dan jika permulaan penyusunan dalam ilmu ini
dinisbatkan kepada Yahya bin Ma’in, Ali bin Al-Madini, dan Ahmad bin Hanbal;
maka penyusunan secara meluas terjadi sesudah itu, dalam karya-karya yang
mencakup perkataan para generasi awal tersebut. Para penyusun mempunyai metode
yang berlainan: pertama, sebagian di antara mereka hanya menyebutkan
orang-orang yang dla’if saja dalam karyanya. Kedua, sebagian lagi
menyebutkan orang-orang yang tsiqaat saja. dan ketiga, sebagian lagi
menggabungkan antara yang dla’if dan yang tsiqaat.
Sebagian besar
metode yang dipakai oleh para pengarang adalah mengurutkan nama para perawi
sesuai dengan huruf kamus (mu‟jam). Dan berikut ini karya-karya mereka yang
sampai kepada mereka :
a.
Kitab
Ma’rifatur-Rijaal, karya Yahya bin Ma’in (wafat tahun 233 H), terdapat sebagian
darinya berupa manuskrip.
b.
Kitab
Adl-Dlu’afaa’ul-Kabiir dan Adl-Dlu’afaa’ush-Shaghiir, karya Imam Muhammad bin
Isma‟il Al-Bukhari (wafat tahun 256 H), dicetak di India. Karya beliau yang
lain : At-Tarikh Al-Kabiir, Al-Ausath, dan Ash-Shaghiir].
c.
Kitab
Ats-Tsiqaat, karya Abul-Hasan Ahmad bin Abdillah bin Shalih Al-‘Ijly (wafat
tahun 261 H), manuskrip.
d.
Kitab
Adl-Dlu’afaa’ wal-Matrukiin, karya Abu Zur’ah Ubaidillah bin Abdilkariim
Ar-Razi (wafat tahun 264 H), manuskrip.
e.
Kitab
Adl-Dlu’afaa’ wal-Kadzdzabuun wal-Matrukuun min-Ashhaabil-Hadiits, karya Abu
‘Utsman Sa’id bin ‘Amr Al-Bardza’I (wafat tahun 292H).
f.
Kitab
Adl-Dlu’afaa’ wal-Matrukiin, karya Imam Shmad bin Ali An-Nasa’i (wafat tahun
303 H), telah dicetak di India bersama kitab Adl-Dlu‟afaa‟ karya Imam Bukhari.
g.
Kitab
Adl-Dlu’afaa’, karya Abu Ja’far Muhammad bin ‘Amr bin Musa bin Hammad Al’Uqaily
(wafat tahun 322 H), manuskrip.
h.
Kitab
Ma’rifatul-Majruhiin minal-Muhadditsiin, karya Muhammad bin Ahmad bin Hibban Al-Busti
(wafat tahun 354 H), manuskrip; dan karyanya Kitab Ats-Tsiqaat, juga manuskrip.
D.
NASIKH DAN MANSUKH
1.
Pegertian Nasikh dan Mansukh
Nasikh
dan Mansukh secara etimologis adalah mengganti
atau menghapus. Menurut terminologi; mengganti hukum syar’i amali juz’i dengan
hukum syar’i amali juz’i lain yang berbeda ketentuan hukumnya yang datang
kemudian atau merubah dan membatalkan sesuatu dengan menempatkan sesuatu yang
lain sebagai gantinya (انرغٛ ٛغ ٔالإتطا ل ٔالايح
انشئ يماييمايّ ). Pada dasarnya beragam pandangan
dikalangan dikalangan ulama tentang pengertian nasikh dan mansukh. Ada empat
macam arti sebagai berikut :
pengertian pertama :
انُُسز إتطا ل دكى يسرفاص ييٍ َص ساتك تُُص لادك
Nasakh adalah
membatalkan hukum yang diperoleh dari nash ( dalil ) yang pertama, dibatalkan
dengan ketentuan nash yang datang kemudian.
Pengertian
kedua :
انُُسز عفغ انذكى انشغػٗ تضنٛٛم شغػٙ
Nasakh ialah
meghapuskan hukum syara’ dengan memakai dalil syara’ pula
Pengertian
ketiga :
انُُسز عفغ انذكى انشغػٗ تضنٛٛم شغػٙ يغ انرغاسٗ
ػهٗ جٔجّ نٕ لاِ نكا ٌ انذكى الأٔل ثاترا
Nasakh ialah meghapuskan hukum
syara‟ dengan memakai dalil syara‟ pula dengan adanya tenggat waktu , dengan
catatan kalau sekiranya tidak ada nasakh itu tentulah hukum yang pertama itu
akan tetap berlaku.
2.
Macam-macam Nasikh dan Mansukh
a.
Nasakh
Al-Qur‟an dengan Al-Qur‟an Seperti di-nasakh-nya firman Allah pada surah
Al-Mujadilah ayat 12 dengan surah AlMujadilah ayat 13;
b.
Naskh
Al-Qur‟an dengan Al-Sunnah
Seperti di-naskh-nya firman Allah: “Diwajibkan atas kamu,
apabila maut hendak menjemput seseorang di antara kamu, jika dia meninggalkan
harta, berwasiat untuk kedua orang tua dan karib kerabat dengan cara yang baik,
(sebagai) kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa” (Q.S. Al-Baqarah: 180). Dengan
sabda Nabi SAW: “Sesungguhnya Allah telah menentukan setiap yang berhak akan
haknya (masing-masing), tidak ada wasiat buat ahli waris”.
c.
Nasakh
Sunah dengan Al-Qur’an
Nasakh ini menghapuskan ketetapan hukum berdasarkan sunnah diganti
dengan hukum yang didasarkan dengan Al-Qur’an. Seperti di-naskh-nya arah kiblat
sholat Baitul Maqdis yang berdasarkan Al-Sunnah dengan firman Allah: “Kami
melihat wajahmu (Muhammad) sering menengadah ke langit, maka akan Kami
palingkan engkau ke kiblat yang engkau senangi. Maka hadapkanlah wajahmu ke
arah Masjidil Haram. Dan di mana saja engkau berada, hadapkanlah wajahmu ke
arah itu. …” (Q.S. Al-Baqarah: 144).
d.
Naskh
Al-Sunnah dengan Al-Sunnah
Jenis nasakh ini terbagi menjadi kemungkinan empat bagian, yaitu :
1)
Nasakh
sunnah yang mutawatir dengan mutawatir;
2)
Nasakh
sunah yang ahad dengan yang ahad;
3)
Nasakh
sunah yang ahad dengan mutawatir.
4)
Nasakh
sunah yang mutawatir dengan yang ahad.
Adapun nasah
yang (huruf d) tidak diperbolehkan menurut pandangan jumhur ulama.
3.
Hikmah Terjadinya Naskh
a.
Memelihara
kemaslahatan hamba dengan syariat yang lebih bermanfaat buat mereka, pada agama
dan dunianya sepanjang zaman.
b.
Masa
perkembangan dalam pembentukan tasyri‟, sehingga mencapai kesempurnaan.
c.
Sebagai
bentuk cobaan dan ujian dengan melaksanakan dan meninggalkan.
d.
Menjaga
agar perkembangan hukum Islam senantiasa relevan dengan perkembangan zaman.
e.
Memberi
keringanan bagi umat Islam
4.
Letak Terjadinya Naskh
Nasakh tidak terjadi kecuali pada amr (perintah) dan nahi
(larangan), baik secara jelas dalam suruhan (mengerjakan/menghindari) atau
dalam bentuk berita yang mengandung makna perintah dan makna larangan. Oleh
karenanya Naskh tidak terjadi pada masalah:
a.
Aqidah
b.
Berita
yang tidak mengandung makna perintah
c.
Etika
dan akhlak
5.
Cara Mengetahui Terjadinya Nasikh Mansukh
a.
Berdasarkan
Keterangan tegas dan nabi atau sahabat
Seperti hadits: “Aku pernah melarang kalian untuk berziarah kubur,
maka (sekarang) berziarahlah”.
b.
Mengetahui
mana yang lebih dahulu dan kemudian tununnya dalam perspektif sejarah.
Seperti hadits: “Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah bertemu dengan
orang yang berbekam pada bulan Ramadhan, lalu Rasul bersabda: „Orang yang
membekam dan orang yang dibekam, puasanya batal‟ “, Dengan hadits:
“Sesungguhnya Nabi SAW melakukan bekam dalam keadaan berihram, dan pernah
melakukan bekam dalam keadaan berpuasa”.
c.
Kesepakatan
umat tentang menentukan bahwa ayat mi nasakh dan ayat itu mansukh.
Seperti ter-naskh-nya pemahaman hadits: “Sesungguhnya wajibnya
mandi dikarenakan keluarnya sperma”, dengan hadits: “Bila suami duduk di antara
empat cabang isterinya lalu suaminya membuatnya lelah, maka wajib mandi”.
0 komentar:
Posting Komentar